“Okaeri”
Sesak. Kenangan beberapa tahun lalu itu terus
menghantuiku. Tanpa perasaan hadir di malam-malam sepiku, menyejajarkan langkah
dengan langkah kakiku, tak peduli sebetapa cepat aku melangkah. Aku terus
menutup mata. Berbisik pelan dalam hati, membujuk kenangan itu tuk pergi.
Selamanya kalau bisa. Rasanya aku ingin muntah acap kali bayang-bayang wajahnya
itu muncul dalam khayalku.
Sudah kuputuskan, aku akan memberangkatkan diriku malam
ini juga ke distrik Taito untuk mengubur sedikit kenangan yang mendadak meluap
itu. Mungkin perbedaan distrik akan membuat suhu salju berbeda, sehingga
kemampuannya untuk menyejukkan pikiran pun berbeda. Mungkin saja, bukan?
-xxx-
Aku turun di Stasiun Ueno. Kulihat banyak sekali
orang-orang berlalu lalang dengan berbagai barang bawaan dan juga ekspresi yang
berbeda. Kuputuskan untuk tidak menghiraukan mereka dan terus melanjutkan
perjalananku.
Aku melangkah perlahan keluar dari stasiun yang
cukup penuh orang itu sembari menjinjing tas berat berisi pakaianku untuk
beberapa hari ini. Baru saja aku keluar dari stasiun, sebuah pemandangan yang
lebih mirip kota menyambutku. Aku segera terkagum. Terakhir aku ke mari pada
umur sebelas tahun—sekitar sembilan tahun yang lalu—Taito belum sebesar ini,
atau bisa dibilang masih berbentuk distrik ramai yang belum terlalu maju. Aku
tak heran jika distrik ini sering disebut ‘Kota Taito’ dan masuk dalam jajaran ’23
Special Wards’.
Tanganku masih saja menggenggam erat kertas
yang—sejak masih di Akihabara—terus berada di genggamanku. Entah apa yang
membuatku akhirnya justru memasukkan benda ini ke dalam ‘daftar barang yang
harus kubawa’. Mungkin, isi dari kertas itulah yang mendorongku. Tidak. Itu
tidak mungkin.
Setelah menggali beberapa informasi dari orang-orang
sekitar, aku mengetahui bahwa di sini jarang ada penginapan, dan sekalinya ada
mungkin sudah diisi oleh turis asing. Namun, akhirnya aku berjumpa dengan
seorang nenek tua baik hati bernama Chiyo yang menawariku untuk tinggal di
rumahnya dengan bayaran murah.
“Kau boleh tinggal di rumahku, Gadis Muda,” ujar
Nenek Chiyo sembari tersenyum setelah kutanyai perihal penginapan yang tengah
kucari-cari.
Ya, salahku memang. Seharusnya aku sudah melakukan
survey di tempat ini sebelum kemari. Namun pemikiran yang kalut membuatku tak
bisa berpikir jernih.
Aku mengangguk sopan sambil tersenyum tipis, lalu
mengikutinya naik ke dalam truk-nya. Aku sempat terheran-heran bagaimana mungkin
seorang nenek tua mampu membawa truk seorang diri. Dan aku juga bertanya-tanya
dalam hati, apa gerangan pekerjaan nenek ini.
“O-Obaasan
bekerja apa?” tanyaku akhirnya setelah Nenek Chiyo menyalakan mesin mobilnya.
“Aku hanya bekerja sebagai pengantar barang,” jawab
Nenek Chiyo sembari terkekeh. Ia menjawab tetap sambil fokus pada jalanan di
depannya. Tangan-tangan keriputnya memutar stir mobil dengan cekatan dan tangkas.
Aku memujinya dalam hati.
“Souka,”
gumamku sembari memandang lurus ke depan.
“Siapa namamu, Nak?” tanya Nenek Chiyo yang masih
tampak fokus dengan jalanan.
“Hyuuga Hinata desu,”
jawabku sopan sembari tersenyum kecil kepada Nenek Chiyo.
“Nama yang sangat indah,” ujar Nenek Chiyo. Kali ini
ia menoleh ke arahku sembari tersenyum hangat.
Aku menanggapi perkataannya hanya dengan sebuah
senyuman. Detik berikutnya, keheningan kembali melingkupi kami. Aku terus
melempar pandang keluar jendela; ke arah hamparan salju yang menutupi hampir
semua ruas jalanan ramai ini. Aku menghela nafas. Kembali bayang-bayang itu
menghampiriku.
-xxx-
Kebodohanku
sore ini adalah tidak menggunakan sarung tangan. Sudah jelas terlihat dan dapat
kurasakan dari balik dinding rumah bahwa cuaca hari ini sangat dingin, dengan
suhu yang di bawah rata-rata normal musim dingin, namun aku masih saja tidak
menuruti perkataan Ibu bahwa aku harus menggunakan pakaian musim dinginku
dengan lengkap
Persetan
dengan hawa dingin yang kian menusuk, kujajaki saja salju-salju tebal di
bawahku. Entah ke mana tujuanku kali ini; aku benar-benar tidak peduli. Yang
kuinginkan adalah keluar dari kepenatan di rumah yang mematikan. Kebosananlah
yang kini menjadi bahan pembicaraanku.
Liburan.
Begitulah kata orang. Aku mengerti dengan jelas makna kata itu. Bahkan di kamus
pun tertera jelas apa artinya. Namun aku sama sekali belum pernah merasakan
yang seperti itu. Yah, aku tidak menyalahkan kedua orangtuaku. Sebab mereka
sudah bekerja keras membanting tulang hanya untuk mempertahankan satu persatu
nafasku yang bisa saja hilang sewaktu-waktu jika mereka berhenti bergerak.
Tetapi paling tidak, aku ingin merasakannya, walau itu hanya dengan cara berjalan-jalan
di sekitar rumah.
Aku
berjalan lebih cepat lagi dengan senyuman tersungging lebar di bibirku. Aku
bisa membayangkan wajah putih pucatku kini merona merah akibat udara dingin
yang ditambah lagi dengan rasa bahagia bisa keluar rumah dan merasakan salju-salju
baru. Merasa tidak puas hanya dengan berjalan, aku berlari. Berlari
sekuat-kuatnya hingga tak sadar ada sebonggol kayu di depanku, yang pada
akhirnya menyandung kakiku. Aku terjatuh. Wajahku tenggelam di dalam salju
tebal pinggir jalan.
Kurasakan
hidungku terasa sakit; perpaduan antara sakitnya terantuk benda padat—yang dalam kasus ini kita sebut salju—dan juga akibat udara dingin pagi ini. Aku
mendudukkan diriku di atas salju tebal, kuusap hidungku yang memerah.
“Ittai,” ujarku lembut.
Baru
beberapa detik setelah aku berkata seperti itu, sebuah bayangan menutupi
cahaya. Tampaknya bayangan itu berasal dari seseorang yang saat ini tengah
berdiri di belakangku. Otomatis aku menoleh ke belakang dan saat itulah mataku
menangkap keindahannya.
“Daijoubu
desu ka?” tanya orang itu sembari
mengulurkan tangannya ke arahku.
Aku
tahu siapa dia. Ia adalah tetanggaku yang tinggal tak jauh dari rumahku. Sedikit
aku tersanjung dengan kepedulian orang ini. Namun ada satu hal yang mengganjal
di pikiranku. Ia sama sekali tidak tersenyum. Ya, menurut desas-desus yang—tentu saja sulit kupercaya—kudengar dari para tetangga, orang ini
memang jarang tersenyum. Kulihat dari wajahnya, kemungkinan besar ia seusia
denganku.
Aku
mengangguk. “Hai. Daijoubu desu,” jawabku. Kusambut uluran tangannya, dan saat itulah, jalan menuju
sesuatu yang cukup luar biasa sudah terbuka lebar di depan kami.
-xxx-
“Hinata-chan?”
Sayup-sayup kudengar suara di sebelah kananku. Aku tersentak dan segera
mendapati Nenek Chiyo tengah menatapku ketika aku menoleh.
“A-ah, Ya, Chiyo-baasan,”
sahutku sambil tersenyum canggung. Aku membuka pintu truk dan keluar. Setelah
tubuhku keluar, aku mengangkut barang-barang yang semula kuletakkan di bawah
kakiku—dan berfungsi sebagai pijakan.
“Di sinilah kau akan tinggal, Hinata-chan,” kata Nenek Chiyo sambil tersenyum
dan menunjuk rumahnya.
Aku menutup pintu, dan setelah itu, aku baru bisa
melihat keadaan rumah di depanku. Rumah itu tampak sangat sederhana, dengan
desain tradisional Jepang. Lantai tatami
tampak jelas dari luar sini. Meskipun sederhana—dan aku bertanya-tanya apakah Beliau
masih menggunakan futon—rumah ini
ditata dengan apik dan tampaknya selalu dijaga kebersihannya, sehingga saat
baru saja aku melihatnya, aku sudah jatuh cinta pada rumah ini.
“A-aku menyukai rumahmu, Obaasan,” ujarku sambil tersenyum ramah ke arahnya.
Nenek Chiyo terkekeh. Ia tidak menanggapi ucapanku
dengan kata-kata, namun kilatan di matanya menunjukkan bahwa ia berterimakasih
padaku yang sudah memuji kediamannya. Nenek Chiyo berjalan masuk ke rumahnya
sembari memberi isyarat agar aku mengikutinya masuk. Dengan segera aku
mengangguk dan membawa serta barang-barangku saat masuk ke dalam rumahnya.
Sebelum aku masuk ke dalam rumah, aku sempat
berhenti sejenak untuk memperhatikan genggaman tanganku yang masih memegang
kertas tadi sampai lecak. Saat itulah Nenek Chiyo menoleh ke arahku. Aku
tersenyum canggung ke arahnya, sedang ia terkekeh sambil berkata, “Kurasa benda
itu sangat berharga untukmu, sebab sedari tadi kulihat kau terus menggenggamnya
sampai nyaris hancur.”
Kemudian Nenek Chiyo kembali berjalan masuk sambil
tertawa-tawa.
-xxx-
Rumah ini menguarkan harum kayu yang membuatku
merasa tenang. Ditambah lagi alunan lagu-lagu lama yang keluar dari piringan
hitam antik yang dinyalakan Nenek Chiyo di ruang tamu. Aku tersenyum sembari
membenahi barang-barangku. Sejenak aku bisa melupakan gundah hatiku dengan membiarkan
diriku terbuai melodi indah lagu-lagu itu. Aku mengelus permukaan futon—ya, Nenek Chiyo masih menggunakan futon—yang ada di depanku, dan segera
tahu bahwa futon itu secara rutin
dibersihkan oleh Nenek Chiyo.
Usai aku merapikan barangku dan mengganti pakaian,
aku keluar kamar, dengan maksud membantu Nenek Chiyo melakukan sesuatu. Baru
sampai di depan pintu, aku sudah bisa mendengar suara dentingan piranti makanan
dari beling yang berasal dari dapur di belakang rumah ini. Aku membuka pintu
dan segera mencari-cari di mana letak dapur. Saat aku menemukannya, aku juga
mendapati Nenek Chiyo tengah mencucui perkakas bekas makannya.
“A-ada yang bisa kubantu, Chiyo-baasan?” tanyaku yang sudah berdiri di sebelahnya.
Nenek Chiyo kembali terkekeh. Ia memintaku untuk
beristirahat saja, namun aku bersikeras untuk membantu. Akhirnya Nenek Chiyo
menyerah dan berkata, “Tolong siapkan nasi.”
Aku mengangguk dengan senang, dan segera melakukan
yang diminta Nenek Chiyo. Terus kami bekerja sembari berbincang-bincang. Dari
sana aku mengetahui bahwa suami dari Nenek Chiyo sudah meninggal bertahun-tahun
yang lalu. Ia tinggal sendirian bersama ‘kenangannya’—paling tidak itulah yang
dikatakan Nenek Chiyo—sementara dua orang putrinya meninggalkannya begitu saja
di rumah sederhana ini.
Aku mendengarkan cerita Nenek Chiyo dengan penuh
perhatian. Kagum. Aku berdecak kagum dalam hati. Aku tak akan pernah bisa
sepertinya; menceritakan sebuah kisah perih masih sambil terkekeh dan
mengeluarkan lelucon-lelucon yang membuat pendengarnya tertawa. Hebat. Aku baru
saja bertemu dengan perempuan tangguh yang sangat hebat.
-xxx-
Kira-kira pada pukul dua belas siang, aku keluar
dari kamar setelah beristirahat selama setengah jam. Saat itulah, aku mencium
aroma makanan yang sangat familiar, yang membuat air mataku menetes tanpa
komando dariku.
-xxx-
“D-dingin…”
bisikku. Kebodohanku hari ini, aku tidak menggunakan syal. Padahal aku sudah mengingat-ingat
dalam hati untuk menggunakan sarung tangan—sebab minggu lalu aku tidak menggunakannya—dan yang kulupakan hari ini justru syal. Dan
parahnya, cuaca hari ini jauh lebih buruk dari minggu lalu.
“Pakailah
ini,” ujar orang di sebelahku sembari melilitkan syal biru yang semula
dipakainya di leherku. Aku menoleh ke arahnya, mengedip beberapa kali dengan
tidak percaya.
“Eh,
Sasuke-kun?
B-bagaimana denganmu?” tanyaku yang berusaha melepaskan syal itu. Sasuke menahan
tanganku, agar tidak melepaskannya, dengan wajah tetap datar. Aku hanya bisa
menghela nafas dan berkata sembari tersenyum, “A-arigatou gozaimasu, S-Sasuke-kun.”
“Hn,”
jawab Sasuke yang kemudian berjalan mendahuluiku dengan kedua tangan dimasukkan
ke dalam saku mantelnya.
Aku
tersenyum sedikit dengan wajah memerah. Perhatian khusus yang diberikan Sasuke
seminggu belakangan ini membuatku mau tak mau merasa agak bahagia. Terkadang
aku merasa kalau Sasuke memiliki sebuah rasa untukku, namun ketika aku
menyadari ‘siapa aku’, aku segera membuang jauh-jauh pemikiran itu. Sahabat.
Satu kata itulah yang mungkin menjawab semua kejelasan tentang hubungan kami.
“Kau
mau makan Oden?” tanya
Sasuke tiba-tiba, yang mendadak berhenti dan membalikkan tubuhnya.
Aku
yang masih tertinggal agak di belakangnya segera menyusul dan menyejajarkan
tempat kami. Aku menelengkan kepala lalu bertanya, “Di mana?”
Tanpa
berkata-kata, tangan Sasuke yang dibalut sarung tangan biru berbahan wol
menggenggam tanganku. Ia menarikku menjauh dari kerumunan di pasar dekat rumah
kami, dan berhenti di sebuah rumah makan kecil. Aku termangu sesaat ketika
melihat papan nama rumah makan itu. ‘Fuyu Resuto’. Dalam hati aku menebak bahwa
isinya adalah makanan-makanan khas musim dingin.
Seakan
aku sudah menyetujui keinginannya untuk masuk rumah makan itu, Sasuke menarikku
masuk dan menyuruhku duduk di salah satu bangku sementara ia memesankan
makanan. Ketika ia kembali, aku masih memandanginya dengan heran.
“N-ne,
S-Sasuke-kun—”
“Ssh.
Diam saja,” kata Sasuke sembari melempar pandang ke arah lain.
Berkat
gertakan Sasuke, aku benar-benar diam setelahnya, hingga tak lama kemudian,
pelayan kedai dating sambil membawa dua buah mangkuk berisi Oden. Aku masih saja terdiam saat sebuah mangkuk
diletakkan di depanku—menguarkan bau
harum ikan yang menggoda. Yang aku lakukan hanyalah memandangi mangkuk itu dan
Sasuke secara bergantian.
Sasuke
memegangi sumpitnya sembari memandangku tajam. “Apa makanan itu akan habis jika
kau diam?” tanyanya, “Itadakimasu.”
“Um…
A-ano… Sasuke-kun.
A-aku tidak membawa uang u-untuk—”
“Baka. Aku yang menraktirmu,” timpal Sasuke cepat
sebelum ia menyuapkan telur rebus ke dalam mulutnya.
Aku
menatap Sasuke, yang tengah mengunyah dengan tenang, dengan tidak percaya. Sekali
lagi Sasuke menatapku dengan tajam seakan berkata ‘Cepat makan atau kau akan
menyesal’ membuatku segera mengangguk dan mengambil sepasang sumpit.
“I-itadakimasu,” ujarku.
Oden—makanan
sederhana khas musim dingin itu—membuatku
semakin terjebak dalam pesona Sasuke yang entah dari mana hadirnya.
-xxx-
Aku berjalan menjauh dari kerumunan, mencari
pinggiran jalan yang jauh lebih sepi. Angin musim dingin yang bertiup kencang
membuat tubuhku agak menggigil. Kurapatkan mantelku sembari aku menenggelamkan
wajah lebih jauh ke dalam balutan syal biru di leherku.
Tujuanku pagi ini adalah Taman Ueno. Taman yang sama
sekali belum pernah kudatangi. Namun, melalui artikel media cetak yang sering
kubaca, aku bisa mengetahui bahwa tempat itu adalah tempat yang sangat indah
dan luas, membuatku merasa bahwa tempat itu bisa sedikit mengubur kenangan dan
segala perasaan yang baru-baru ini meluap begitu saja.
Aku merasa
tidak perlu menggunakan kendaraan umum untuk sampai di sana. Meskipun aku tahu,
jarak dari tempatku sekarang berpijak tidaklah dekat dengan Taman Ueno. Namun,
lagi-lagi kata ‘masa bodoh’ akan kukeluarkan hari ini. Aku ingin menyusuri jalan-jalan
Ueno ini dengan kakiku sendiri; merasakan udara dingin yang seakan-akan
menggigiti kulitku yang tidak tertutup.
Terus. Terus berjalan—sambil sesekali memandangi
tanganku yang menggenggam kertas ‘itu’. Kegiatan sederhana—berjalan kaki jarak
jauh—yang entah mengapa kembali melelehkan air mataku.
-xxx-
Tch!
Aku terus-terusan merutuk dalam hati. Laki-laki dingin tanpa emosi itu terus
saja berjalan cepat di depanku, tanpa menunggu aku walau hanya sebentar. Sudah
setahun kami berteman, ia masih saja tidak berubah—ya, tetap pemaksa seperti dulu. Ia
bersikeras untuk berjalan-jalan mengelilingi separuh distrik kami—Akihabara—hanya dengan berjalan kaki. Awalnya aku tidak keberatan, karena aku
berpikir kami akan beristirahat barang tiga atau empat kali selama perjalanan
ini. Namun tidak. Ia sama sekali tidak peduli. Terus saja dilangkahkannya
kakinya yang panjang itu, meninggalkan aku di belakangnya yang berjalan
tersaruk-saruk sebab salju tebal itu menggangguku.
“Bisakah
kau lebih cepat, Hinata?!” tanya Sasuke tidak sabar sembari menoleh ke arahku
dengan tatapan tajam.
“T-tunggu,
S-Sasuke-kun!” sahutku
yang masih saja berjuang menyusuri jalanan bersalju tebal ini.
“Kau
terlalu lama!” tegur Sasuke lagi yang kembali berjalan meninggalkan aku.
Aku
ingin menangis rasanya. Namun, jangankan menangis, menegurnya untuk menungguku
saja aku sudah mati-matian berusaha melakukannya. Ya, aku tidak mau Sasuke
memandangku lemah. Aku tak mau ia melihatku menangis. Entah mengapa, ada
dorongan kuat dalam diriku untuk bersikap tegar dan kuat di hadapan Sasuke.
Hanya di hadapannya.
Namun
sekuat apa pun aku berusaha, pada kenyataannya aku memang gadis lemah.
Aku
terjatuh.
“A-ah!”
seruku tidak sadar saat aku terjatuh akibat menyandung sebuah bonggol kayu yang
tertutup salju. Ya, lagi-lagi Sasuke akan melihatku terjatuh.
Spontan
Sasuke menoleh. Ia agak terkejut melihat aku duduk bersimpuh di atas salju.
Dengan segera, laki-laki berambut hitam kelam itu pun berjalan mendekatiku.
“Daijoubu
desu ka?” tanya Sasuke dengan nada yang—tak biasanya—terdengar lembut.
Tidak.
Tidak hanya suaranya yang terdengar lembut. Pandangan matanya pun tampak tak
biasa. Ia memandangiku dengan lembut. Tersisip perasaan khawatir yang cukup
jelas di matanya. Aku termangu dalam diam selama beberapa detik. Mata hitam itu
seakan menenggelamkan aku dalam pesonanya.
“D-daijoubu
desu,” jawabku akhirnya setelah
kepingan-kepingan suaraku berhasil kukumpulkan kembali.
“Mendokusai!” seru Sasuke sembari membantuku berdiri,
“Sabarlah sedikit, Hinata. Kita hampir sampai.”
Aku
menelengkan kepalaku dengan bingung. Kupandangi Sasuke dengan terheran-heran.
Sungguh aku tak mengerti apa maksud Sasuke dengan ‘hampir
sampai’-nya barusan. Bukankah kami hanya
berjalan-jalan?
Tanpa
memedulikan aku yang masih terheran-heran, dengan kejamnya Sasuke menarik syal
biru yang melilit di leherku agar aku berjalan lebih cepat. Ya, syal itu adalah
syal pemberian Sasuke satu tahun yang lalu. Ia menolakku mentah-mentah ketika
aku datang ke rumahnya hanya untuk mengembalikan syal itu. Sebuah frase yang
saat itu keluar dari bibir Sasuke membuat perasaanku bercampur aduk. ‘Untukmu,
Hinata’ begitulah katanya.
“Ne,
Sasuke-kun.
S-sebenarnya k-kita mau ke man—”
Perkataanku
spontan terhenti ketika kulihat sebuah tanah lapang yang sangat luas di
hadapanku. Yang aku tahu, tanah lapang itu adalah milik keluarga Uchiha—yang notabene adalah keluarga Sasuke. Namun
pemandangan tanah lapang itu tidak biasanya. Tidak lagi kosong. Tidak
semengerikan biasanya. Aku jatuh cinta pada tanah lapang itu. Tanpa kuperhatikan
sebelumnya, tanah lapang itu sudah disulap menjadi sebuah taman yang indah.
Ditambah
sebuah papan besar bertuliskan, “Okaerinasai, Hinata”
-xxx-
Tak henti-hentinya decak kagum meluncur dari bibirku
saat kulihat pertama kali bagaimana besarnya Taman Ueno. Dan yang pertama menarik perhatianku lebih
jauh adalah, bagaimana burung-burung berkumpul di sebuah kolam—yang akhirnya
kuketahui bernama Kolam Shinobazu. Aku tertawa kecil melihat bagaimana
burung-burung itu berkicauan, seakan berkata pada temannya bahwa ia kedinginan.
Sebagian pengunjung tampak memberikan burung-burung
itu makan. Aku pun tertarik untuk mencobanya, hingga kubeli sebungkus makanan
burung, dan kulemparkan ke sekitar kolam; membuat burung-burung itu terbang
mengerumuni makanan yang bertebaran itu. Tanpa sadar, tawaku berderai meski
tidak kencang.
Setelah puas bermain dengan burung-burung itu, aku
menyusuri taman besar ini—masih dengan kertas itu di dalam genggamanku. Saking
luasnya taman ini, di sini bahkan terdapat sebuah universitas seni dan juga
perpustakaan. Aku kembali berdecak kagum. Sayang aku tak membawa kamera—dan aku
tidak mempunyai keahlian di bidang fotografi—sehingga aku tak bisa mengabadikan
pemandangan indah di tempat ini.
Di tikungan jalan di mana aku masih bisa melihat Kolam
Shinobazu, jantungku mendadak berhenti, tatkala kulihat sepasang mata hitam itu
memandangku lekat-lekat.
Lekas aku berjalan cepat tanpa berhenti. Jantungku
bertabuh keras dan cepat, sedang nafasku terengah-engah; menimbulkan uap-uap
putih yang keluar dari hidungku. Aku terus berjalan tanpa arah, hingga akhirnya
tanpa sadar aku sampai di sebuah kuil besar yang menakjubkan. Ketika kubaca
tulisan di kuil itu, aku mengetahui nama kuil itu adalah Kuil Benzaiten; tempat
memuja Ichikishima Hime no Mikoto, yang dalam kebudayaan Shinto
disebut sebagai Kami wanita.
Tanpa basa-basi, aku
segera memasuki kuil itu, bukan untuk berdoa, namun untuk melarikan diri dari
kejaran sepasang mata hitam tadi.
-xxx-
“M-matamu terlalu hitam, Sasuke-kun,”
ucapku saat itu, ketika Sasuke menggenggam tanganku di Taman ‘Okaeri Hinata’—begitulah aku menyebutnya. Ia menatap mataku dengan matanya yang baru
saja kuberi komentar. Sebuah senyuman yang—sangat—tipis ia sunggingkan
terhadapku, membuat aku mau tak mau menerima kedua pipiku yang memerah.
“Kau
yang memiliki mata aneh, Hinata,” timpal Sasuke dengan nada sinis—yang aku tahu hanya ia khususkan untukku.
“A-aneh?”
tanyaku yang agak terkejut dengan pernyataannya, karena baru kali ini ada orang
yang berkata bahwa mataku aneh—meskipun aku sendiri mengatakan bahwa mataku aneh, sebab untuk ukuran
mata, mataku—dan mata seluruh anggota
keluarga Hyuuga—berwarna terlalu
pucat; ungu muda.
“Aku
hanya bercanda,” kata Sasuke setelahnya sembari mengacak rambutku, dengan wajah
menyunggingkan sebuah senyuman yang cukup lebar untuk ukuran Sasuke. “Matamu
indah. Aku suka,” lanjutnya sembari membuang pandang ke arah lain.
Aku
tersenyum mendengar pernyataannya. Paling tidak sekarang aku tahu, kami memliki
mata yang indah.
Hubungan
kami? Ah, aku lupa menjelaskan. Beberapa hari yang lalu, Sasuke menyatakan
perasaannya. Bagaimana tanggapanku? Oh, aku tahu semua orang akan menebak
dengan tepat. Jelas, wajahku memerah, jantungku berhenti berdetak, dan aku nyaris
tidak bisa menarik napas. Aku suka. Aku suka sensasi itu. Begitu menyenangkan.
-xxx-
Aku memperhatikan arsitektur bangunan di hadapanku
lagi-lagi sembari berdecak kagum. Di sudut bangunan itu bisa terlihat dengan
jelas sebuah patung Benzaiten. Patung
yang diukir dengan sangat indah dan detail
yang nyaris tak bercacat—setidaknya begitualah pendapatku, meskipun agak
berlebihan.
Merasa tidak nyaman karena aku tidak berdoa, aku pun
memilih untuk keluar. Tidak, tentu aku tidak melupakan kenyataan aku berlari ke
mari untuk bersembunyi. Aku hanya tidak ingin bersembunyi di dalam kuil, sebab
itu akan mengganggu orang-orang yang tengah beribadah.
Akhirnya kulangkahkan kakiku menuju ke sebuah paviliun
kuil yang berada tak jauh dari kuil utama Benzaiten.
Sebuah jembatan untuk mencapai paviliun kuil yang ingin kudatangi segera saja
mencuri perhatianku. Aku berjalan ke arah jembatan itu agar aku bisa
menyeberang sampai ke paviliun kuil. Baru saja tanganku menyentuh ujung
pegangan jembatan, ekor mataku menangkap kembali sepasang mata hitam yang tadi
memandangiku di kolam.
Segera jantungku kembali berhenti berdetak. Sudah
tak ada lagi jalan untuk melarikan diri. Tanpa bisa berpikir panjang, aku menyembunyikan
wajahku sebisa mungkin ke dalam lilitan syal biru di leherku, dan mulai
berbalik badan untuk menjauhi jembatan. Dengan tubuh agak membungkuk, aku
berjalan tergesa-gesa, sebisa mungkin menyembunyikan diriku dengan berjalan di
sebelah orang lain yang lebih tinggi dariku, atau sengaja menghampiri
kerumunan.
Namun tetap saja suara itu menemukanku.
“Hinata!”
Nafasku seperti dilolosi. Aku berhenti berjalan.
Seluruh panca inderaku seakan mati sudah semuanya. Suara di sekitarku terdengar
samar-samar dan berdengung. Kedua mataku mengabur. Kulitku hanya bisa merasakan
hawa dingin yang tidak nyaman. Lidahku kelu seakan tidak bisa merasakan apa
pun. Begitu pula hidungku yang hanya mampu menangkap bau udara dingin.
Ketika sebuah tangan mendarat di pundakku, sebuah
sengatan listrik bertegangan tinggi merambat di sekujur tubuhku, membuatnya
menegang. Aku seakan bisa mendengar suara debar jantungku yang bertalu-talu.
Ia tak lagi menyentuh pundakku. Kini seluruh tubuhku
seakan dimonopoli oleh lingkar lengannya yang besar. Sepertinya panca inderaku
mulai bisa berfungsi seperti semula, sebab bisa kurasakan nafasnya yang hangat
menerpa belakang telingaku. Tanpa dikomando, perasaan sesak itu kembali muncul
ke permukaan. Tanganku terangkat otomatis untuk menyentuh dadaku yang terasa
amat sakit. Aku mengenal pelukan ini. Gaya pelukan ini hanya dimiliki satu
orang. Satu orang yang saat ini sangat ingin kubuang jauh dari pikiranku.
“Aku merindukanmu,” ucap orang di belakangku dengan
suara yang sangat amat rendah. Andai aku tidak berada tepat di depannya,
mungkin aku tak tahu apa yang barusan dikatakan orang ini. Bibirnya yang kini
menyentuh kepala bagian belakangku—dapat kurasakan—mulai menyunggingkan seulas
senyuman. “Kau bahkan masih menggunakan syal yang kuberikan,” ucapnya lagi.
Oh, kumohon bunuh aku sekarang. Setan dalam hatiku
kembali memerintahkan aku untuk menoleh dan mencari tahu apakah senyumannya
masih sama seperti dulu atau tidak. Namun dengan sekuat tenaga kutahan desakan
hatiku. Kukepalkan erat kedua tanganku, menahan tubuhku yang mulai bergetar
hebat. Seluruh anggota tubuhku berusaha untuk mencegah air mataku keluar. Tak
bisa lagi. Cairan hangat itu mulai mengalir di pipiku. Satu. Dua. Tiga tetes
air mata gagal kujaga.
“Kau menangis?” tanyanya.
Jelas ia mengetahuinya. Si Bodoh satu ini menggulung
lengan mantelnya sampai ke siku, hingga tangannya yang telanjang—dan melingkari
leherku—terkena tetesan hangat air mataku.
Meski kutahu tak ada gunanya mengelak, aku menggeleng
pelan. Kuturunkan arah pandangku. Pandanganku yang mulai mengabur masih bisa
menangkap samar-samar benda yang berada di dalam genggaman tanganku.
Orang itu melepaskan pelukannya. Diputarnya tubuhku
hingga kini aku berhadapan langsung dengannya. Kedua mataku yang semula enggan
membalas tatapannya, entah karena apa, segera menatap lekat-lekat mata hitam
pekatnya. Sungguh aku merindukan sepasang mata itu. Mata yang selama ini
memandang lembut atau terkadang sinis ke arahku. Mata yang seakan mampu membaca
seluruh isi hatiku. Mata yang membuat aku jatuh cinta.
-xxx-
Setelah bisa lumayan tenang, aku dibawa duduk di
sebuah bangku di bawah sebuah pohon gundul besar. Aku terus saja menunduk,
menatap kertas yang menyembul dari sela-sela jemariku. Kali ini aku benar-benar
tak berani menatapnya. Sebab aku takut ia akan tahu alasan sebenarnya aku
datang ke mari.
Keheningan tercipta di antara kami. Tak ada salah
satu di antara kami yang mau memulai pembicaraan. Aku terlalu sibuk merutuki
diriku sendiri mengapa akhirnya memutuskan untuk ke mari, sedangkan orang di
sebelahku ini… aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Aku tak pernah
mengerti tentangnya, meskipun dulu aku pernah merasa bahwa akulah yang paling mengerti
tentangnya.
Ia benar-benar sulit ditebak.
Bahkan aku tak pernah tahu kalau ia… Ah, sudahlah.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya orang itu
akhirnya.
Aku merasakan dadaku terasa sangat sesak ketika
kudengar suara itu mengalir pelan masuk ke dalam rongga telingaku. Tanpa
kusadari, lagi-lagi pandanganku mengabur oleh air mata. Kutarik nafas
dalam-dalam, mencoba untuk menetralisasi semua rasa sakit yang memaksaku
mengeluarkan air mata.
Aku menggeleng pelan. “Aku—”
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, orang itu
menggenggam tanganku, dan mengecupnya perlahan. Aku tahu seharusnya aku merasa
bahagia. Namun kenyataan yang selama ini tak pernah bisa kuterima akhirnya justru
membuat sikapnya itu menimbulkan luka yang jauh lebih dalam lagi.
“Maafkan aku soal waktu itu. Aku—” ujarnya lagi,
“—tak punya pilihan lain.”
Air mataku tak dapat kubendung lagi. Harapan yang
sempat kubangun tentangnya kini sudah hancur berkeping-keping. Sudah tak dapat
diperbaiki. Sudah tak ada gunanya lagi.
“Tidak apa-apa,” ujarku dengan suara bergetar. Tanpa
sadar aku mulai terisak. Kejadian waktu itu seakan diputar ulang secara terus
menerus di dalam otakku, membuat kepalaku terasa nyeri dan perasaanku serasa
seperti dicabik-cabik. Bagaimana ia memandangku. Mengucapkan kata maaf dan pada
akhirnya meninggalkan aku demi seseorang sebelum ia meninggalkan kertas yang
kini kugenggam erat.
Ia memeluk tubuhku dengan hangat dari sebelah. Aku
membiarkan diriku jatuh ke dalam pelukannya, namun aku sudah berjanji pada
diriku sendiri bahwa ini yang terakhir. Ya, ini yang terakhir. Jadi kumohon
ijinkan aku.
Aku mengusap air mataku menggunakan tangan yang
menggenggam kertas, sehingga mau tak mau, orang yang memelukku melihat kertas
itu. Tampaknya ia segera tahu kertas apa itu, karena ia lekas merebutnya. Ia
melepaskan pelukannya ketika membaca surat itu.
Sembari menghela nafas, aku melirik laki-laki di
sebelahku. Dan kulihat kedua matanya menyorotkan kepedihan yang lantas
membuatku merasa tersiksa. Aku menundukkan kepala. Sebisa mungkin kupaksakan
senyuman di bibirku yang bergetar, dan aku bertanya untuk mengalihkan
perhatiannya, “S-Sasuke-kun… A-apa
kau masih dengannya?”
Kuberanikan diriku mendongak, dan saat itulah aku
melihatnya menggeleng. “Naruto-kun
berhianat,” ujarnya.
Sedikit gejolak kebahagiaan kurasakan di dalam
hatiku. Aku menatapnya dengan antusias. Berharap ia tak lagi—ah, aku tak bisa
menyebutkannya secara gamblang.
“L-lalu?” tanyaku dengan penuh harap.
Sasuke menyunggingkan senyuman tipisnya. Ia menjawab
tanpa memandangku, “Anak Hyuuga itu mencuri perhatianku saat ini.”
Sempat aku merasa besar kepala. Hyuuga. Aku Hyuuga. Mungkinkah Hyuuga yang dimaksud Sasuke adalah aku? Secercah harapan mulai timbul di
dalam hatiku. Namun segera kugelengkan kepala. Aku teringat akan Sasuke yang
sudah berbeda dengan yang dahulu kukenal. Satu nama yang kini terbersit dalam
otakku; Neji.
“Neji-niisan?”
tanyaku secara blak-blakkan sembari kubuang pandangku ke arah lain;
berpura-pura menatap orang yang berlalu lalang jauh lebih mudah dibandingkan harus
menatapnya kali ini.
Sasuke tidak menjawab. “Kau masih menyimpan surat
ini rupanya,” katanya. Ia membacakan kertas di tangannya sambil bergumam, “Kini
aku tinggal di Taito, Jepang. Datanglah. Aku akan—”
—menyambutmu
bersama Naruto-kun. Aku bahagia dengannya saat ini, Hinata, sambungku dalam
hati; sadar kalau Sasuke tak sanggup melanjutkan kalimatnya, sebab mereka sudah berpisah.
“Ya,” jawab Sasuke akhirnya sembari melipat kembali
kertas itu dan mengembalikannya padaku. Senyuman tipis yang terlihat bahagia
tersungging di bibirnya.
Padahal kupikir aku akan siap dengan jawaban apa pun
yang akan dilontarkan Sasuke. Namun mendengar kata ‘ya’ yang meluncur dari
bibirnya ketika kutanya apakah itu Neji atau bukan, membuat hatiku terasa
sangat sakit. Ia masih belum berubah. Masih…
mencintai sesama jenisnya.
“Ia mendekatiku,” ujarnya.
Cukup.
Kumohon cukuplah. Aku tahu Neji bukanlah pria normal. Aku tahu ia tidak
menyukai perempuan. Tetapi apa harus kau, Sasuke? Dan apakah harus ia?
Aku menggigit bibirku kuat-kuat, kukepalkan tangan
sekuat tenaga, berusaha menerima segala cerita yang meluncur dari bibir Sasuke.
“Dan aku… menyukainya,” katanya lagi.
Kumohon
hentikan.
Tak bisa. Aku tak bisa menerimanya.
“Aku semakin menyadari perasaanku—” Ia memandang
langit kelabu yang kosong tanpa awan.
Kumohon…
Sakit…
“—ketika malam itu ia—”
“Cukup,” desisku yang tak sanggup lagi. Air mataku
tumpah dengan deras. Kukepalkan tanganku hingga kertas dalam genggamanku sudah barang
tentu hancur. “Jangan d-dilanjutkan. K-kumohon. A-aku—”
Saat itulah kurasakan tanganku digenggam. Aku
mendongak, dan setelahnya Sasuke meraih daguku. Ia memejamkan mata dan mengecup
lembut bibirku singkat. Sungguh aku semakin tak mengerti.
“S-Sasuke-kun…” bisikku setelah ia melepaskan
ciumannya. Aku memandangnya dengan mata terbelalak, merasakan jantungku
berdetak cepat.
Author: Patricia Citraning Hyang
Juara 3 lomba Fanfiction di Hitochuu Matsuri 2013